Olehkarena itu harus ada upaya-upaya untuk menekan dan menghapus praktik-praktik diskriminasi melalui perlindungan dan penegakkan HAM disetiap ranah kehidupan manusia. Program Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 memasukkan program penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk sebagai program pembangunan bangsa.
UpayaMemerangi Praktik Diskriminasi Rasial melalui Sarana Hukum Pidana
2009menunjukkan bahwa upaya untuk mengurangi stigma dan diskriminasi yang dihadapi penderita HIV & AIDS bukanlah tugas yang mudah. Kenyataan tersebut juga ditemukan oleh studi yang dilakukan di Bandung (JEN bekerja 1 Studi yang dilakukan oleh JEN berlokasi di tiga tempat, yaitu Jakarta, Bandung, dan Sidoarjo. 52 I Jurnal Kependudukan Indonesia
Penelitianini bertujuan untuk mengetahui aspek hukum praktik diskriminasi dalam persaingan usaha di Indonesia dan mengkaji penerapan prinsip rule of reason pada Putusan Perkara Nomor 08/ KPPU-I/2020. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan
Pertama memanusiakan anak selayaknya manusia. Kedua adalah melakukan pencegahan dimana tindakan untuk menghindarkan anak dari segala bentuk kekerasan. Ketiga, respons untuk menanggulangi kalau kekerasan tersebut sudah terjadi. "Tapi sayang masih banyak diantara kita belum paham terhadap tiga hal ini.
aTgYv6. - Diskriminasi dapat menimpa siapa saja. Diskriminasi bisa menyangkut agama, ras, etnis, ataupun suatu kebudayaan. Diskriminasi terjadi karena tidak bisa masyarakatnya tidak bisa memahami serta menerima perbedaan yang Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dituliskan jika diskrimasi adalah segala bentuk pembatasan, pelecehan ataupun pengucilan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak, yang didasarkan pada perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi dan aspek kehidupan lainnya. Hidup tanpa diskriminasi dari pihak manapun menjadi hak asasi setiap manusia. Namun, terkadang bisa ditemui perbuatan diskriminasi terhadap kaum atau pihak tertentu. Akibatnya kehidupan masyarakat menjadi kurang harmonis, aman dan juga Diskriminasi Pengertian dan Penyebabnya Apa sajakah contoh diskriminasi dan bagaimana cara menghindarinya? Contoh diskriminasi Berikut contoh diksriminasi yang masing sering dijumpai di lingkungan sekitar Seorang perempuan tidak diperbolehkan bekerja sebagai sopir atau pilot karena jenis kelaminnya. Sekelompok orang mengejek atau memperlakukan orang secara berbeda hanya karena perbedaan keyakinan. ODHA atau Orang Dengan HIV/AIDS masih sering dijauhi masyarakat karena takut tertular. Kaum difabel masih jarang mendapat fasilitas publik yang ramah untuk mereka. Perlakuan berbeda antara orang kaya dengan orang miskin ketika berobat ke rumah sakit. Melakukan diskriminasi dengan menjauhi teman yang berasal dari luar Pulau Jawa. Warga Amerika Serikat masih sering membedakan perlakuan antara warga kulit putih dengan kulit hitam. Baca juga Perbedaan Toleransi dan Simpati Cara menghindari diskriminasi Cara menghindari diskriminasi yaitu dengan berlaku seperti Menghormati dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Menyadari jika setiap manusia memiliki hak asasi manusianya masing-masing, termasuk bisa menjalani hidup tanpa perlakukan diskriminatif. Mempelajari kebudayaan dan bahasa daerah lainnya, agar lebih mudah memahami betapa indahnya hidup aman dan tentram tanpa diskriminasi. Membiasakan diri untuk tidak mudah mengejek, menghina atau membenci hanya karena berbeda suku, agama, ras, status sosial ataupun kebudayaannya. Menumbuhkan semangat dan jiwa nasionalisme. Menjalin komunikasi dan membina hubungan yang baik dengan teman atau keluarga yang berbeda suku, agama, ras dan budayanya. Membiasakan diri untuk tidak mudah menilai orang lain dari penampilan luarnya saja. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
JAKARTA - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, masih terdapat praktik-praktik ketidaksetaraan dan diskriminasi di tempat kerja, berkaitan dengan pelaksanaan pengupahan, rekruitmen, seleksi, kesejahteraan, jaminan sosial, pelatihan, pendidikan, kenaikan jabatan atau kondisi kerja secara ujar Muhaimin, terus menerus melakukan berbagai terobosan untuk menghapus diskriminasi salah satunya dengan melakukan jejaring kerja sama dan koordinasi antar kementerian, instansi terkait, organisasi pengusaha, serikat pekerja, serikat buruh serta pemangku kepentingan lainnya. Pada 2013, ia menambahkan, telah mengeluarkan aturan melalui Kepmenakertrans Nomor 184 Tahun 2013 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kesempatan dan Perlakuan yang Sama Dalam Gugus Tugas Kesempatan dan Perlakuan yang Sama Dalam Pekerjaan tingkat nasional, kata Muhaimin, diharapkan dapat menjadi salah satu wadah dalam upaya pencegahan dan penghapusan ketidaksetaraan dan diskriminasi di tempat kerja. "Kami juga menargetkan adanya komitmen dari perusahaan-perusahaan untuk mencantumkan kesepakatan Penerapan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama dalam Pekerjaan tanpa Diskriminasi ke dalam perjanjian kerja bersama PKB yang melibatkan pekerja dan pengusaha," katanya, Rabu, 27/8.Saat ini, ujar Muhaimin, tercatat sebanyak perusahaan yang telah melakukan perjanjian kerja bersama. Dari jumlah itu, baru 752 perusahaan yang mencantumkan anti diskriminasi terang Muhaimin, minimal setiap tahun 200 perusahaan mencatumkan antidiskriminasi dalam perjanjian kerja bersama. Ke depannya diharap seluruh pihak yang terlibat dapat mendukung upaya pemerintah untuk menghapus dan mencegah praktik-praktik diskriminasi di tempat kerja, sehingga akan terwujud ketenangan bekerja dan ketentraman berusaha. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
Apakah kamu pernah menemukan atau bahkan mengalami diskriminasi? Bagaimana cara kamu mengatasi diskriminasi tersebut jika terjadi di tempat kerja? Sebenarnya, permasalahan tentang diskriminasi di tempat kerja telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan UU Ketenagakerjaan. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan perlakuan yang sama di tempat kerja tanpa berbagai bentuk diskriminasi dari pemberi kerja. Akan tetapi, apa yang bisa dilakukan jika kamu menemukan perlakuan diskriminasi di kantor? Berikut langkah-langkah yang bisa kamu lakukan. 1. Simpan bukti perilaku diskriminasi © Pexels Jika kamu melihat atau mengalami diskriminasi langsung di tempat kerja, cara pertama yang dapat kamu lakukan untuk mengatasinya adalah menyimpan semua perilaku diskriminasi yang kami dapatkan. Simpanlah bukti-bukti perilaku diskriminasi tersebut sebanyak yang bisa kamu dapatkan. Bukti-bukti ini akan berguna nantinya ketika kamu akan melaporkan perilaku diskriminasi tersebut kepada perusahaan. 2. Diskusikan dengan saksi mata © Terkadang, bukan hanya kamu yang mengalami atau menyaksikan perilaku diskriminasi tersebut. Rekan-rekan kerjamu yang lain juga mungkin menyaksikan atau bahkan mengalami hal yang sama. Jika hal tersebut terjadi, kamu bisa mendiskusikan dengan rekan-rekan kerjamu tersebut mengenai langkah apa yang sebaiknya ditempuh untuk mengatasi perilaku diskriminasi tersebut. 3. Laporkan kepada atasan © Orang pertama yang bisa kamu beri tahu apabila kamu melihat atau mengalami diskriminasi adalah atasanmu sendiri. Terutama apabila perilaku diskriminasi tersebut dilakukan oleh rekan kerjamu. Sampaikan secara pribadi kepada atasanmu jika kamu memiliki bukti yang kuat adanya diskriminasi di tempat kerja. Kamu juga bisa mengajak rekan kerjamu yang lain jika ia juga melihat atau mengalami perlakuan diskriminasi yang sama. Diskusikanlah dengan atasanmu langkah atau cara apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi diskriminasi di tempat kerja kamu. 4. Laporkan kepada pihak HR © Pihak kedua yang bisa kamu hubungi ketika melihat atau mengalami diskriminasi di tempat kerja adalah bagian HR. Hal ini dikarenakan penyelesaian berbagai masalah yang berkaitan dengan perusahaan dan karyawan merupakan bagian dari tanggung jawab HR di kantor. Apabila kamu mendapat atau melihat perlaku diskriminasi di kantor yang tidak bisa diselesaikan oleh atasan, kamu bisa menyampaikannya kepada HR. Kamu juga bisa melaporkan perilaku diskriminasi jika hal tersebut dilakukan oleh atasanmu sendiri. Sehingga, pihak HR dapat bertindak sebagai mediator untuk mengatasi hal ini. 5. Laporkan sesuai dengan aturan perusahaan Setiap perusahaan umumnya telah memiliki berbagai aturan tersendiri yang mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan perusahaan. Termasuk perihal pelaporan perilaku diskriminasi. Untuk itu, pahamilah bagaimanan aturan perusahaanmu dalam mengatasi perilaku diskriminasi. Jika kamu belum mengetahuinya, kamu dapat menanyakannya kepada atasan ataupun bagian HR. 6. Laporkan kepada Pengadilan Hubungan Industrial © Freepik Dilansir dari Hukum Online, perilaku diskriminasi adalah salah satu permasalahan kerja yang dapat dilaporkan kepada Pengadilan Hubungan Industrial PHI. PHI adalah langkah terakhir yang dapat kamu tempuh untuk mengatasi perlakuan diskriminasi yang terjadi di tempat kerja jika usaha lainnya tidak membuahkan hasil. Jika mediasi dengan pihak perusahaan tidak menghasilkan kesepakatan, kamu dapat mengajukan gugatan kepada PHI. Untuk bisa mengajukan gugatan, kamu harus memiliki bukti perilaku diskriminasi yang cukup kuat. Setelah gugatan dilayangkan, PHI kemudian akan memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan terhadap pelaku diskriminasi tersebut. Perilaku diskriminasi di tempat kerja dapat diatasi dengan lima cara di atas. Akan tetapi, sebelum hal itu terjadi, akan lebih baik jika kamu dapat mencegahnya. Nah, jika kamu ingin baca artikel lainnya seputar tips di tempat kerja. Glints sudah siapkan hanya untuk kamu. Yuk, baca kumpulan artikelnya di sini! Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Perlakuan Diskriminatif Dapat Digugat Di Pengadilan Industrial
› Opini›Kekerasan terhadap Minoritas... Menghapus praktik kekerasan dalam masyarakat kita, yang sudah jadi pilihan rasional bagi sebagian masyarakat, bukan hal sederhana. Diperlukan berbagai kanal sekaligus katalisator sosial kultural yang mampu meminimalkan. Kompas Didie SWSatu dekade terakhir, Indonesia mendapatkan catatan buruk mengenai kekerasan terhadap ilustrasi, pada tahun 2012, Human Rights Watch HRW mengeluarkan sebuah laporan yang menyatakan Indonesia sebagai negara yang tinggi dalam aksi kekerasan terhadap minoritas. Pada saat itu, Presiden SBY diminta untuk menekan peningkatan kekerasan terhadap minoritas yang berpotensi terjadi di Indonesia. Kritik ini menegaskan bahwa Indonesia di mata dunia internasional menjadi negara yang akrab dengan kekerasan, khususnya terhadap minoritas. Kritik juga memberikan peringatan bagi kita, khususnya pemerintah, untuk lebih tegas dalam mengambil peran mencegah dan melindungi kelompok HRW memberikan makna negatif dalam konstruksi citra Indonesia di mata dunia internasional. Secara lebih luas, laporan HRW jadi catatan serius dalam kasus pelanggaran HAM di Hari Hak Asasi Manusia HAM pada 10 Desember 2021 ini menjadi momentum sekaligus refleksi bahwa kekerasan terhadap minoritas di Indonesia menjadi isu problematik yang tak pernah berhenti terjadi. Malah melihat polanya semakin sistematis dan terlembagakan dalam berbagai bentuk yang ada. Kita harus mengingatkan bahwa negara harus melindungi minoritas, apa pun bentuknya, bukan malah melakukan pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi dengan laporan HRW itu membawa kita pada kasus-kasus yang terjadi sepanjang 2019 dan kurun 2020. Meski laporan HRW dirilis hampir sembilan tahun lalu, relevansinya masih mengingatkan kita pada serangkaian kasus kekerasan terhadap minoritas beberapa waktu lain yang menarik disimak juga, seperti dirilis adalah data tindak diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas, khususnya dalam kerukunan beragama, yang dilakukan Komnas HAM bersama Litbang Kompas berjudul Survei Penilaian Masyarakat terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi. Survei dilakukan pada 2018 dan hasilnya memperlihatkan, kesadaran masyarakat terhadap isu diskriminasi ras dan etnis masih perlu 83,1 persen juga mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang 81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama. Sebanyak 82,7 persen menyatakan merasa lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Sebanyak 83,1 persen juga mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang yang menarik dari hasil survei ini? Sungguh tak habis pikir, rentetan tindakan anarkistis terjadi di Tanah Air setiap hari. Maraknya kasus kekerasan terhadap minoritas berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, terutama dalam penolakan pembangunan masjid atau gereja di lingkungan mayoritas yang beda kekerasanBegitu gampangnya masyarakat kita melakukan praktik kekerasan. Seolah masyarakat kita seperti rumput panas yang mudah terbakar. Dalam hitungan menit bisa meletup amarah dan amuk massa. Masyarakat sering kali brutal jika melakukan praktik kekerasan. Beberapa kali kantor pemerintahan, seperti kantor bupati dan instansi pelayanan publik lain, hancur dibakar pengujung 2020, kita digemparkan dengan tragedi pembantaian satu keluarga di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tragedi itu terjadi pada 27 November 2020, menewaskan empat warga minoritas, pelaku mengambil 40 kilogram stok beras dan membakar enam rumah warga. Tragedi kemanusiaan ini tidak bisa dibenarkan, apa pun alasannya, dan sebagai bagian dari warga yang beradab, kita harus mengutuk keras kekejian tersebut. Tindakan kekerasan dengan dalil apa pun hingga merenggut nyawa adalah tindakan paling barbar dalam sejarah juga Intoleransi yang MencemaskanTragedi Sigi ini pula yang membawa kita merenungkan kembali arti penting kemanusiaan dan peradaban dalam praktik sosial kita sehari-hari. Refleksi kritis itulah yang mengantarkan kita mempertanyakan apakah kehidupan sosial kita masih bisa menikmati apa yang disebut kehidupan beradab civilized life sebagaimana disebutkan Alfred Marshal bahwa semua individu bisa menikmati civilized life dengan proteksi hak-hak individu oleh saat bersamaan, yang membuat kita semakin sedih adalah reproduksi kekerasan terhadap minoritas semakin subur dalam beberapa tahun terakhir. Praktik kekerasan ini secara masif semakin menempatkan wajah Indonesia yang berada dalam labirin kekerasan. Dengan kata lain, sulit melepaskan kekerasan sebagai mekanisme sosial dari kelompok-kelompok yang memiliki sumber daya sumber daya inilah yang kemudian semakin melanggengkan kekerasan secara diskursif dalam tatanan sosial. Akibatnya, kelompok-kelompok yang defisit sumber daya, yaitu kelompok minoritas, semakin terpinggirkan dalam formasi sosial SupriyantoRasionalisasi kekerasanPasca-Orde Baru, kita dihadapkan pada kondisi sosial yang memiliki dinamika sangat tinggi. Konflik sosial horizontal menjadi fakta yang tak terbantahkan. Jika ditelusuri lebih jauh, selama Orde Baru, kita dibenturkan dengan politik Orde Baru yang mengharamkan terjadinya konflik sosial. Potensi konflik diredam sedemikian rupa karena dapat mengganggu kestabilan politik penguasa. Ibaratnya, konflik masyarakat ditutup di bawah karpet yang tak tampak ke setelah karpet kekuasaan Orde Baru tumbang, semua konflik yang disembunyikan bermunculan ke permukaan. Masyarakat tak diajarkan mengelola konflik sebagai sebuah entitas penting dalam ruang sosial. Sudah 22 tahun Reformasi berlangsung. Celakanya juga, selama kurun waktu tersebut, berbagai konflik sosial horizontal ataupun berbagai praktik kekerasan kelompok sipil seolah tak kunjung eskalasinya semakin meningkat dengan berbagai akar masalah yang sering kali gara-gara hal sepele. Kita bisa menyaksikan dengan saksama di televisi, para pelajar yang melakukan aksi tawuran dengan sadis menghancurkan bis kota ataupun mobil pribadi yang berada di sekitar lokasi lagi yang bisa dikatakan jika masyarakat kita mudah tersulut emosi untuk melakukan lagi yang bisa dikatakan jika masyarakat kita mudah tersulut emosi untuk melakukan kekerasan. Saya membayangkan, jika praktik kekerasan terus berlangsung, ini akan berbahaya bagi kohesi sosial yang kontraproduktif dalam pembangunan meminjam penjelasan Erich Fromm, psikolog psikoanalis yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt, masyarakat kita yang akrab dengan kekerasan disebut destructiveness. Ciri ini merujuk pada karakter masyarakat yang berupaya mencari kekuatan dengan cara merusak dan menghancurkan kelompok lain yang dianggap mengganggu dan memberikan ketidaknyamanan bagi kelompok pelaku kekerasan tindakan kekerasan tersebut dirasionalisasi sebagai tugas, kewajiban, ataupun tanggung jawabnya. Karakteristik yang dikemukakan Fromm tersebut sejatinya sudah menjadi peringatan bagi kita untuk tidak melanggengkan kekerasan dalam struktur kognitif masyarakat kita. Jika di lapangan kita melihat pola reproduksi sosial kekerasan terus berlangsung secara masif, maka masyarakat kita sesuai dengan apa yang dijelaskan Fromm 1995 sebagai ”masyarakat sakit” the sick society.Baca juga Konsolidasi Organisasi Masyarakat SipilPada masyarakat sakit, kita perlu simultan mengembalikan masyarakat sakit ke masyarakat sehat. Ini memerlukan pendasaran sosial, kultural, pendidikan, ekonomi, politik, dan hukum yang mampu menopang ruang sosial kondusif bagi seluruh kewargaanMenghapus praktik kekerasan dalam masyarakat kita yang sudah menjadi pilihan rasional bagi sebagian masyarakat bukan hal sederhana. Diperlukan berbagai kanal sekaligus katalisator sosial kultural yang mampu meminimalkan kekerasan dengan segenap aparatnya menjadi aktor penting yang mampu menyediakan ruang sosial bagi pendasaran masyarakat sehat tersebut. Kelompok minoritas yang lemah sumber daya adalah kelompok yang paling rentan dalam relasi kekuasaan ekonomi politik negara dalam labirin kekerasan tersebut menunjukkan bahwa negara gagal memberikan proteksi sosial ekonomi kepada kelompok rentan ini. Akibatnya, dalam relasi ketimpangan tersebut, minoritas menjadi kelompok yang terancam hak-haknya dan kian terpinggirkan dalam formasi sosial itu. Fenomena ini dialami secara masif oleh berbagai kelompok minoritas yang ’’tersisih’’ dalam kontestasi sosial minoritas yang lemah sumber daya adalah kelompok yang paling rentan dalam relasi kekuasan ekonomi politik sosiologis, relasi sosial kita menghadapi apa yang disebut situasi ’’tanpa kewargaan’’ Robet, 2013193. Situasi ketika kelompok minoritas kehilangan identitas dan hak-haknya sebagai ’’hasil’’ kontestasi sosial politik tersebut. Dalam konteks itulah diperlukan politik kewargaan yang mendorong kelompok-kelompok minoritas memperjuangkan identitas dan hak-haknya sebagai bagian dari kewargaan mereka identitas ini bisa menjadi konter terhadap hegemoni sumber daya yang dengan kasatmata sangat surplus dalam kontestasi tersebut. Mekanisme ini akan berjalan jika negara bisa mengambil peran strategis dalam berbagai kebijakan sosial ekonomi yang dengan tegas memberikan proteksi kepada kelompok minoritas sisi lain, secara kasatmata kita bisa melihat di lapangan, negara melalui aparatusnya datang terlambat, tidak berdaya, dan membiarkan setelah tindakan kekerasan tersebut berlangsung. Aparat seolah tak berdaya menghadapi masyarakat yang brutal tersebut. Aparat kepolisian harus lebih responsif jika tidak ingin selalu dikatakan membiarkan kekerasan tersebut informal di masyarakat juga tak kalah pentingnya memiliki peran penting bagi perilaku masyarakat. Kepemimpinan informal menjadi role model masyarakat dalam berperilaku sehari-hari. Maraknya praktik kekerasan belakangan ini membuat kita prihatin dengan hilangnya dialog sebagai cermin dari rasionalitas Rakhmat HidayatJika ada kelompok masyarakat yang berbeda pemikiran ataupun faham hingga ideologi, saya kira secara elegan bisa menyelesaikannya dengan dialog kultural yang membangun kebersamaan. Dengan demikian, jika terjadi konter diskursus, kita akan melihat terjadinya dialektika yang produktif. Dengan cara ini, kita terus belajar menjadi bangsa yang memiliki peradaban Hidayat, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta UNJ; Fellow Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan CRCS UGM 2020 EditorSri Hartati Samhadi, yohaneskrisnawan
Professora da Unesp mostra como nós, adultos, podemos ajudar na luta contra o racismo dando bons exemplos às crianças Por FLÁVIA BEZERRA, do Ceert. PIXABAY Neste sábado, são celebrados o Dia Internacional Contra a Discriminação Racial e o Dia Mundial da Infância. Pensando nisso, conversamos com a professora de história e pesquisadora Lucia Helena Oliveira Silva, da Unesp, sobre a importância de se combater o racismo ainda na infância “Quando não se vê nesses modelos, a criança se sente deixada de lado. Por isso, é de suma importância falarmos sobre preconceito, uma vez que ainda estamos construindo o respeito à diversidade”, diz Lucia. Leia abaixo 1. Atente-se para não reproduzir comportamentos preconceituosos Segundo Lucia, é comum, nas escolas, reproduzir comportamentos racistas, mesmo sem perceber que os faz “Já vi muita professora pedindo para a menina de cabelo crespo, enrolado, ir à escola apenas com os fios presos, enquanto a aluna branca, de cabelo liso, é autorizada a ir com eles soltos. Trabalhar a diversidade é garantir às crianças sensação de pertencimento”. 2. Repense seus atos e seu vocabulário Além de não reproduzir termos racistas, como judiar ou denegrir, sempre explicando às crianças por que elas também não podem repeti-los, atente-se aos atos que podem, sim, ser hostis à diversidade “Eu já fui professora primária e mesmo sendo uma mulher negra, já fiz coisas que me arrependo, como rezar antes de comer. A escola é laica e não poderia, como professora, me esquecer dos alunos não-cristãos”. 3. Não incentive apelidos que caracterizam estereótipos Lucia é enfática neste ponto “Apelido pode até parecer carinhoso, mas não é legal. Pense por que há tanta necessidade de classificar alguém que não é branco? Não chame de japonesinho’, de mulatinha’, de bombom’… Falando assim, você repete o racismo, mesmo achando que não. Use sempre o nome da criança. Sempre! 4. Reflita a necessidade de festas em datas comemorativas Aqui, o questionamento de Lucia fica, principalmente, para professores e profissionais da educação “As festas de dia das mães e dia dos pais só reforça um modelo de família tradicional que não é mais o único. Poxa, quantas crianças são, hoje, criadas pelos avós, tios, ou têm dois pais, ou duas mães? A festa junina, que tradicionalmente é uma festa católica, também deveria ser repensada”, explica. “E que tal adotar uma festa da família?”, complementa. 5. Explique, explique e explique tudo às crianças Exemplifique aos pequenos o que é preconceito, discriminação e nunca evite o assunto! “Converse e aposte no poder da sinceridade.” 6. Valorize a diversidade no dia a dia “Mostre referências de diversidades em livros, filmes… A criança percebe quando não está no modelo em que é apresentado, desconstruindo ideias tradicionais. E desconstruir é uma luta”, defende Lucia. Leia Também Como falar com seus filhos sobre abuso sexual
upaya untuk menekan dan menghapus praktik praktik diskriminasi dengan melalui